Solopos.com, SUKOHARJO — Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sukoharjo mencatat sejak Januari-November 2023 ditemukan pasien terduga tuberkulosis (TBC) sebanyak 10.660 orang atau mencapai 120,9% surveilans. Dari jumlah tersebut, temuan kasus TBC mencapai 1.460 kasus atau sebanyak 80,5%. Angka tersebut meningkat dibanding tahun lalu yang hanya 68,1% atau sebanyak 1.260 kasus.
Kepala Dinkes Sukoharjo, Tri Tuti Rahayu, menyebut penemuan terduga TBC dengan angka lebih dari 100% didapatkan dari gerakan bersama lintas program, sektor, dan berbagai organisasi profesi kesehatan. Ini dilakukan untuk melakukan surveilans aktif dan investigasi kontak kasus, baik di fasilitas kesehatan (faskes) maupun masyarakat berisiko.
“Kasus TBC tertinggi di Kabupaten Sukoharjo terjadi pada kelompok umur produktif sebanyak 46% dengan usia 15-59 tahun. Kasus pada anak sebanyak 36% dan lansia sebanyak 17%,” beber Tri Tuti dalam jumpa pers di Hotel Brother Solo Baru, Rabu (29/11/2023).
Kasus pada anak mencapai 537 kasus dari target temuan sebanyak 205 kasus. Jumlah tersebut dilihat dari konfirmasi klinis sebanyak 64% dan terkonfirmasi bakteriologis sebesar 36%. Gejala yang di alami pada anak maupun orang dewasa hampir sama. Tetapi Dinkes belum sampai spesifik meneliti kasus per kasus pada anak terutama dari kondisi penyakit penyertanya. Gejala yang dialami di antaranya sering batuk tanpa sebab yang jelas. Termasuk penurunan berat badan hingga gejala berkeringat pada malam hari.
Tuti meminta orang tua harus peka terhadap gejala TBC karena anak terkadang tidak mengomunikasikannya pada orang tua. “Pada dasarnya tidak ada penularan langsung melalui hujan. Namun dengan kondisi cuaca yang tidak pasti akan mengurangi kekebalan tubuh terutama usia anak. Keluarga yang tinggal di rumah yang belum permanen dan memiliki kelembapan tinggi serta tidak ada akses cahaya merupakan orang-orang berisiko TBC,” beber Tri Tuti.
Muncul Kemiskinan Baru
Terkait tingginya penderita TBC dari kalangan produktif menimbulkan kekhawatiran memunculkan kemiskinan baru. Pasalnya produktivitas penderita TBC mengalami penurunan. Tak sedikit penderita TBC harus kehilangan pekerjaan akibat kondisi kesehatannya.Pengeluaran untuk pengobatan yang tak sedikit, hingga biaya non medis seperti transportasi dan nutrisi yang menambah beban ekonomi penderita TBC.
Koordinator Tuberculosis dari Komunitas Mentari Sehat Indonesia (MSI) Sukoharjo, Akmal Mukhibin, membenarkan banyak pasien TBC yang kehilangan pekerjaannya. Bersama Dinkes Sukoharjo, sejumlah upaya telah mereka tempuh untuk meminimalkan hal itu. Salah satunya dengan membangun komitmen implementasi penanggulangan TBC di tempat kerja.
Dinkes telah memfasilitasi pertemuan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Disnakertrans, Dinas Sosial, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Baznas hingga organisasi profesi kesehatan.
Hasil kegiatan tersebut di antaranya tercapainya kesepakatan pelaksanaan skrining TBC di fasilitas umum seperti pasar dan perusahaan. Pengajuan usulan bantuan renovasi rumah tidak layak huni bagi pasien TBC, serta usulan pembiayaan perawatan pasien TBC yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Selain itu mengadakan prioritas pembuatan kepesertaan JKN tertanggung pemerintah untuk pasien TBC, hingga pelaksanaan penanggulangan TBC di tempat kerja.
“Kami mendorong pengusaha ikut melaksanakan penanggulangan TBC di perusahaan. Namun untuk hal ini masih perlu digodok kebijakannya,” papar Akmal.
Pihaknya juga telah menargetkan pada 2024 mendatang akan ada penambahan kader di masing-masing desa. Kader MSI di Sukoharjo saat ini ada 105 orang yang tersebar di 12 kecamatan di Kabupaten Sukoharjo. Ke depan ia menargetkan jumlah itu bertambah menjadi 167 kader sesuai dengan jumlah desa/kelurahan yang ada di Kabupaten Makmur.
“Kami siap terlibat aktif dalam menangani permasalahan TBC di Kabupaten Sukoharjo. Semua harus memberikan perhatian intensif terhadap situasi TBC terutama di kalangan pekerja dan usia produktif termasuk anak-anak. Hal itu untuk mencapai pemilihan optimal dan mencegah penyebaran lebih lanjut,” beber Akmal.